Oleh: KH. Anhar Haryadi (Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Wanayasa)
Taubat adalah upaya seorang hamba untuk berhenti dari perbuatan maksiat dan menggantinya dengan perbuatan taat. Setiap orang yang bertaubat tentu berharap taubatnya diterima oleh Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan apakah taubatnya diterima atau ditolak. Namun demikian, Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan gambaran dan pertanda tentang diterimanya taubat seorang hamba.
“Orang yang bertaubat itu berada di antara harapan dan ketakutan, di antara kebahagiaan dan kesengsaraan, di antara keselamatan dan kehancuran.”
Jika melihat api yang berkobar, gemetarlah ia karena takut dicampakkan ke dalam neraka.
Jika petir menyambar, terguncanglah hatinya karena takut kepada Allah Ta‘ala.
Jika melihat orang yang asyik berbuat dosa, ia menangis karena teringat akan dosa-dosanya.
Jika melihat berbagai kenikmatan, ia khawatir jika kelak diharamkan dari kenikmatan surga.
Mereka dapat mengecap manisnya ketaatan, mampu merasakan kenikmatan dalam beribadah, serta memetik kelezatan dalam setiap titisan iman dan lembutnya penerimaan. Ia akan giat beribadah, selalu disertai rasa takut yang terus-menerus, dan tidak pernah merasa aman dari azab Allah walaupun hanya sekejap mata. Karena itu, Allah pun mengangkat kedudukannya di sisi-Nya.
Janganlah melihat kecilnya suatu dosa, tetapi lihatlah kepada keagungan Allah Ta‘ala yang telah engkau maksiati.
Jangan lebih merasa takut kepada manusia dibandingkan takut kepada Allah.
Jangan lebih merasa malu di mata manusia dibandingkan malu di hadapan Allah.
Jangan lebih berharap kepada manusia dibandingkan berharap kepada Allah.
Lisan terpelihara, tetapi hati selalu berbuat dosa. Lisan selalu memuji Allah, namun hati berpaling dari-Nya.
Allah Ta‘ala berfirman:
“Maka larilah (kembalilah) kepada Allah.”
(QS. Adz-Dzariyat [51]: 50)
Lari dari hawa nafsu…
Lari dari maksiat…
Lari dari dosa-dosa…
Lari dari fitnah syahwat…
Lari dari setan…
Lari dari jiwa yang buruk…
Lari dari fitnah dunia…
Lari dari fitnah harta…
Lari dari fitnah kedudukan…
Lari dari dosa syirik…
Lari dari semua itu menuju Allah.
Betapa agung dan sayangnya Allah.
Dia membiarkan hamba-Nya melakukan dosa dan kesalahan, sedangkan Dia mengetahui dan melihat.
Dia memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk bertaubat, dan tetap memberinya nikmat serta rahmat.
Ketahuilah, tanda seorang hamba yang diterima taubatnya adalah: semakin cinta kepada kebaikan dan benci kepada kejelekan, mudah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, bertambah rasa takut di hati jika kembali berbuat dosa, tidak pernah merasa aman dari azab Allah, dan menghadap Allah dengan khusyuk dan hina, dengan perasaan hancur serta mudah meneteskan air mata.
Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab al-Munabbihat ‘ala al-Isti‘dad li Yaumil Mi‘ad menegaskan bahwa tidak ada yang bisa memastikan apakah taubat seorang hamba diterima atau tidak. Namun, setidaknya ada enam hal yang menandakan taubat seseorang diterima oleh Allah SWT (Syekh Nawawi, Nasha’ih al-‘Ibad, hlm. 49).
Pertama,
dalam hati seorang yang bertaubat lahir kesadaran bahwa dirinya tidak terpelihara dari dosa. Ini berarti kapan pun dirinya bisa terjerumus lagi ke dalam perbuatan dosa, baik dosa yang telah ditaubati maupun dosa yang berbeda. Atas dasar itu, dia selalu berhati-hati menghadapi hal-hal yang bisa mengantarkan dirinya jatuh lagi pada kubangan yang sama dan kembali berbuat nista.
Kedua,
ia mendapati hatinya sedikit gembira dan banyak bersedih. Hatinya senantiasa menyiapkan dan memikirkan masa depan akhiratnya yang belum mendapat jaminan apa-apa.
Apakah hidupnya akan berakhir dengan membawa iman? Itulah yang selalu direnungkan oleh seorang yang bertaubat, sehingga tak berani meluapkan kegembiraannya secara berlebihan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَكْثَرَ ذِكْرَ الْمَوْتِ قَلَّ فَرَحُهُ، وَقَلَّ حَسَدُهُ
“Siapa saja yang banyak mengingat kematian, maka sedikit kegembiraannya dan sedikit pula rasa hasadnya.”
(HR. Ibnu al-Mubarak)
Ketiga,
lebih dekat dengan orang-orang saleh, serta jauh dari orang-orang jahat dan buruk perangainya. Di saat yang sama, dia menyadari bahwa dekat dengan orang-orang baik dapat mempertahankan kebaikan dirinya dan bisa diingatkan manakala berbuat kesalahan.
Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang jahat membuka kesempatan bagi dirinya tergerus oleh keburukan mereka, walaupun dia berusaha tidak melakukannya.
Rasulullah SAW bersabda:
مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Teman yang baik dan teman yang buruk diibaratkan seperti pembawa minyak wangi dan peniup bara api. Pembawa minyak wangi akan memberimu aroma harum, engkau bisa membeli minyaknya, atau minimal mencium baunya. Sedangkan peniup bara api bisa membakar pakaianmu, atau engkau mencium bau asap darinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat,
melihat perkara dunia yang sedikit sebagai sesuatu yang banyak di hadapannya, dan melihat perkara akhirat yang banyak sebagai sesuatu yang sedikit.
Seorang hamba yang bertaubat ingat bahwa sesedikit apa pun kekayaan dunia, halalnya akan dihisab dan dipertanggungjawabkan, sedangkan yang haramnya akan disiksa.
Pertanyaan tentang harta lebih berat daripada pertanyaan tentang hal lain. Soal ilmu, misalnya, hanya ditanya untuk apa ilmu itu dipergunakan. Sedangkan soal harta, akan ditanya: dari mana harta itu didapatkan dan untuk apa dibelanjakan.
Kelima,
melihat diri dan hatinya sibuk dengan perkara-perkara yang dibebankan Allah kepadanya, sedangkan terhadap perkara-perkara yang telah dijamin Allah, ia tidak meresahkannya.
Di antara perkara yang dibebankan Allah adalah tuntutan syariat-Nya (taklif), baik yang harus dilakukan maupun ditinggalkan, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Sedangkan perkara yang telah dijamin meliputi rezeki, umur, jodoh, kematian, dan sebagainya.
Keenam,
selalu menjaga lisan. Hal ini lahir dari kesadaran bahwa banyak berbicara dalam perkara yang tidak berguna sama dengan mengantarkan dirinya kepada pintu kemaksiatan. Rasulullah SAW bersabda:
أَكْثَرُ النَّاسِ ذُنُوبًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ كَلَامًا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling banyak dosanya pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak bicaranya dalam kemaksiatan kepada Allah.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Karenanya, tidak mengherankan bila menjaga lisan termasuk amal yang paling dicintai Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah menjaga lisan.”
(HR. Al-Baihaqi)
Semoga Allah menerima taubat kita dan senantiasa membimbing kita dengan hidayah serta taufik-Nya.
KOIN NU PURWAKARTA
Scan QR Code di bawah atau klik tombol "Donasi Sekarang" untuk memberikan Koin NU via DANA.

Donasi Sekarang
Terima kasih atas dukungan Anda!
Disclaimer: Koin NU ini dikelola oleh PCNU Purwakarta.