KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, merupakan sosok pemikir besar dalam sejarah Islam Indonesia. Pemahaman keagamaannya tidak hanya menyentuh aspek ritual, tetapi juga menembus dimensi sosial, budaya, bahkan kemanusiaan secara universal. Salah satu pandangan penting beliau yang patut direnungkan adalah mengenai ibadah haji.
Bagi Gus Dur, haji bukan sekadar perjalanan spiritual menuju Tanah Suci, tetapi juga panggilan untuk memperkuat kesadaran sosial. Ia menekankan bahwa ibadah haji memiliki makna mendalam, yang tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial masyarakat.
Kesalehan Pribadi vs Tanggung Jawab Sosial
Gus Dur pernah menyatakan bahwa apabila seseorang sudah mampu berhaji dan telah menunaikannya satu kali—sebagaimana yang diwajibkan dalam Islam—maka haji kedua, ketiga, dan seterusnya perlu ditinjau kembali dalam konteks sosialnya.
Menurut beliau, ketika di sekitar kita masih banyak yang kelaparan, sulit mengakses pendidikan, atau hidup dalam kemiskinan, maka mengalokasikan dana untuk membantu mereka bisa lebih utama daripada berangkat haji berulang kali.
Pernyataan ini berangkat dari pemahaman bahwa Islam tidak semata-mata menilai kesalehan dari ibadah individual, tetapi juga dari kontribusi nyata terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Menghidupkan Nilai Keadilan dalam Ibadah
Gus Dur memahami bahwa esensi ibadah adalah mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Dalam kerangka ini, haji bukanlah ajang perlombaan spiritual atau simbol status sosial, tetapi pengingat akan kesetaraan dan kepedulian.
Ketika seorang muslim mampu menunaikan haji namun abai terhadap penderitaan orang-orang di sekitarnya, maka hakikat ibadah itu patut dipertanyakan. Sebab, spiritualitas sejati melahirkan empati dan keberpihakan terhadap kaum lemah.
Spirit Haji yang Membumi
Pemikiran Gus Dur tentang haji membawa kita pada kesadaran baru: bahwa beribadah tidak cukup hanya taat secara ritual, tapi juga harus menyentuh aspek sosial yang lebih luas. Spirit haji yang dibawa pulang dari Makkah seharusnya menggerakkan hati untuk peduli, berbagi, dan membela yang tertindas.
Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia hari ini, warisan pemikiran Gus Dur ini tetap relevan. Ia mengajarkan bahwa agama seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan sekadar kebanggaan pribadi.