Oleh Dzikri Abazis Subekti, S.H. M.H
Di jalanan, rakyat berteriak. Gas air mata menyesakkan napas, pentungan aparat menghantam tubuh, dan jerit tangis kehilangan nyawa kembali terdengar. Negeri ini seolah tak lagi punya ruang aman bagi rakyat yang ingin bersuara. Demonstrasi yang seharusnya jadi bahasa demokrasi, justru dibungkam dengan kekerasan.
Sementara itu, di gedung megah bercahaya, para pejabat tinggi dan wakil rakyat duduk manis berbalut jas mahal. Di hadapan mereka tersaji hidangan mewah, gelas kristal berisi minuman hangat, dan tawa renyah di balik kursi empuk. Dari balik jendela kaca tebal, mereka melihat rakyat bentrok dengan polisi seperti tontonan murahan di panggung sandiwara.
Ironi ini menampar nurani: rakyat yang memilih mereka dipaksa berdarah, sementara mereka yang dipilih justru bersembunyi di balik kemewahan dan kepalsuan. Koruptor masih melenggang, kekuasaan masih dipertontonkan, dan rakyat lagi-lagi dikorbankan.
Aparat dan rakyat dipaksa berhadapan—dua pihak yang sejatinya sama-sama anak bangsa. Yang satu diseret oleh perintah, yang lain terhimpit oleh kebutuhan. Dan di atas mereka, segelintir elit politik tersenyum puas, sebab keributan di bawah membuat singgasana mereka tetap aman.
Jika negeri ini terus membiarkan darah rakyat jadi alas kenyamanan penguasa, maka sejarah kelak akan menulis: para pejabat negeri ini pernah makan kenyang di atas penderitaan bangsanya sendiri. Demokrasi mati bukan karena suara rakyat hilang, melainkan karena wakil rakyat sendiri menutup telinga.
KOIN NU PURWAKARTA
Scan QR Code di bawah atau klik tombol "Donasi Sekarang" untuk memberikan Koin NU via DANA.

Donasi Sekarang
Terima kasih atas dukungan Anda!
Disclaimer: Koin NU ini dikelola oleh PCNU Purwakarta.