Oleh DR. Ramlan Maulana, M.Hum dalam “Catatan Sejarah NU Purwakarta (sebuah penelusuran awal)”
Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi berdiri pada 31 Januari 1926. Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 1928, NU sudah hadir dan eksis di Purwakarta. Keberadaan NU Purwakarta pada masa awal ini bahkan tercatat sebagai salah satu peserta Muktamar NU ke-3 di Surabaya.
Informasi tersebut dapat ditelusuri melalui Madjalah Berita Nahdlatul Ulama edisi “Congress Nummer Ketiga” tertanggal 9 Rajab 1356 H/15 September 1937 M. Dalam majalah itu dimuat daftar utusan yang hadir dalam Muktamar ke-3 NU di Surabaya pada 12 Rabi’utsani 1347 H atau 28 September 1928.
Tercatat ada 14 utusan dari Jawa Barat, salah satunya adalah Kiai Faqih yang mewakili Purwakarta sekaligus tercatat sebagai Tanfidziyah NU Purwakarta.
Nama-nama utusan lainnya antara lain: KH. Abd. Rachman, K. Toebagris, H. Moehammad Arif (tf), EE. Ismail (Pandeglang), KM. Abbas, JM. Moeslim (tf), Saijid Awoed Bansjar (Cirebon), KH. Dja’far Sodiq (tf), KH. Fadhil (Tasikmalaya), KH. Moehammad Zain merangkap Tanfidziyah (Indramayu), KH. Abdullah (tf), RM. Dachlan (Bandung), KH. Ali Bisri (Serang), serta K. Faqih (Purwakarta).
Data ini menegaskan bahwa NU Purwakarta sudah berdiri sejak 1928, hanya berselang dua tahun dari lahirnya NU di tingkat pusat. Kehadiran K. Faqih menjadi bukti eksistensi awal NU Purwakarta.
Diduga, posisi K. Faqih saat itu lebih bersifat representatif, yakni sebagai penerima mandat untuk menggerakkan NU di Purwakarta, meskipun belum memiliki struktur administratif yang formal.
Catatan dalam Madjalah Berita Nahdlatul Oelama menyebutkan secara jelas “K. Faqih merangkap Tanfidziyah (Purwakarta)”. Bila menggunakan teori siklus sejarah Ibnu Khaldun, periode ini dapat dikategorikan sebagai fase pembentukan NU Purwakarta.
Konteks Sosial-Politik Purwakarta 1928
Keberadaan NU Purwakarta di era ini sangat penting jika dilihat dalam konteks sejarah wilayah. Pada masa 1920-an, Purwakarta merupakan bagian dari Keresidenan Karawang.
Sejak 1921 hingga 1930, pusat pemerintahan keresidenan berada di Wanayasa. Namun, setelah keluarnya Bestuurshervormingswet tahun 1922, Karawang diturunkan statusnya menjadi afdeling (kabupaten) yang membawahi tujuh distrik: Karawang, Purwakarta, Cikampek, Rengasdengklok, Subang, Sagalaherang, dan Pamanukan, yang semuanya berada di bawah Keresidenan Batavia.
Posisi Purwakarta yang dekat dengan Batavia menjadikannya wilayah strategis. Hal ini dapat menjelaskan mengapa NU Purwakarta sudah cukup kuat untuk mengirimkan utusan dalam Muktamar ke-3 di Surabaya.
Situasi strategis ini semakin diperkuat setelah terjadi pemindahan ibu kota kabupaten dari Wanayasa ke Sindangkasih pada 1931. Pemindahan itu diresmikan melalui besluit pemerintah kolonial tertanggal 20 Juli 1831 No. 2 (Lampiran 1), yang sekaligus menetapkan nama baru “Purwakarta” sebagai ibu kota.
Dalam periode tersebut, Distrik Purwakarta dipimpin oleh beberapa Wedana secara bergantian: R. Atmaja Saputra (1925–1929), Mas Sastrawiria (1929–1936), dan R. Kanduruan Wargadinata (mulai Januari 1936).
Sementara itu, posisi Bupati Karawang tetap dipegang oleh R.T.A. Suriamiharja (1925–1942). Kondisi ini semakin menegaskan dinamika sosial-politik Purwakarta yang juga memengaruhi perkembangan NU di daerah tersebut.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa NU Purwakarta sudah ada sejak 1928 dan menjadi bagian penting dari sejarah awal pergerakan NU di Jawa Barat.
Kehadiran Kiai Faqih sebagai utusan Muktamar ke-3 NU di Surabaya menjadi bukti otentik atas eksistensi NU Purwakarta yang telah berperan aktif sejak fase awal berdirinya organisasi.
KOIN NU PURWAKARTA
Scan QR Code di bawah atau klik tombol "Donasi Sekarang" untuk memberikan Koin NU via DANA.

Donasi Sekarang
Terima kasih atas dukungan Anda!
Disclaimer: Koin NU ini dikelola oleh PCNU Purwakarta.