KH. Adang Badruddin, atau yang kita kenal sebagai Abah Cipulus, lahir pada 1 Januari 1943 dan wafat pada 3 Agustus 2020. Tapi nama beliau tidak pernah benar-benar hilang. Ia tetap hidup dalam kesaksian para santri, dalam zikir masyarakat, dan dalam denyut pesantren yang ia warisi dengan cinta dan laku yang konsisten.
Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyah di Cipulus, Purwakarta, Abah Cipulus telah mewakili satu generasi kiai Jawa Barat yang tidak hanya mengajarkan agama, tapi mempraktikkannya dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik secara santun dan mengakar.
Kiai yang Membumi
Abah bukan tipikal kiai menara gading. Ia adalah pengayom, seorang guru yang mau menanam, beternak, dan bercocok tanam bersama santri. Gaya hidupnya sederhana, tapi bukan berarti pasif. Justru, beliau mengajarkan kemandirian dan etos kerja dalam bingkai spiritual. Ia sering menyampaikan bahwa menjadi santri bukan berarti menjadi beban umat, tapi tulang punggung umat.
Dalam kegiatan sehari-hari, ia lebih sering ditemui di ladang daripada kantor. Tapi ketika bicara soal fiqih, akidah, dan tasawuf, beliau begitu dalam. Ia mengaji Ihya’ ‘Ulumiddin, Fathul Wahhab, hingga tafsir, bahkan di usia senja, membuktikan bahwa ulama sejati belajar hingga akhir hayat.
Pewaris Tradisi, Penjaga Akidah
Abah Cipulus adalah benteng tradisi Islam Nusantara. Ia merawat ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah dengan pendekatan khas Sunda—penuh kelembutan, humor, dan kearifan lokal. Melalui syi’ir, shalawat, dan kegiatan tahlil, beliau mengajarkan Islam yang teduh, ramah, dan mengakar dalam budaya masyarakat.
Di tengah gelombang ideologi yang mengikis tradisi, Abah berdiri teguh. Beliau tak gamang untuk berkata bahwa tawassul, istighatsah, dan haul bukan bid’ah, tapi bagian dari cinta kepada para wali dan ulama. Sikap ini membuatnya begitu dicintai warga NU, dari kampung hingga pengurus cabang.
Politik sebagai Pengabdian, Bukan Pangkat
Abah juga sempat berkiprah di dunia politik—menjabat sebagai Rais Syuriah PCNU Purwakarta dan Wakil Rais Syuriah PKB Jawa Barat. Tapi baginya, politik bukan panggung kekuasaan, melainkan alat untuk memperjuangkan kepentingan umat. Ketika kesehatan tak lagi memungkinkan, beliau undur diri tanpa polemik. Sikap ini menjadi pelajaran penting di zaman ketika jabatan kadang lebih diperebutkan daripada ditunaikan.
Kehangatan yang Dirindukan Santri
Salah satu warisan paling indah dari Abah adalah kehangatan personalnya. Ia hadir dalam suka dan duka santri. Ketika seorang santri sakit, beliau pinjamkan kendaraan pribadinya. Ketika ada yang menikah, beliau turut hadir dan mendoakan. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, hanya karena cinta—cinta seorang guru kepada muridnya, dan cinta seorang pemimpin kepada umatnya.
Beliau Masih Ada, Dalam Kita
Kini Abah Cipulus memang telah wafat. Tapi warisan beliau tidak. Beliau hidup dalam setiap pengajian kitab kuning, dalam doa tahlilan, dalam cara kita mencintai tanah air dan agama secara bersamaan. Abah Cipulus adalah warisan besar dari Jawa Barat untuk Nusantara.
Selama pesantren tetap berdiri, santri terus belajar, dan warga NU masih mencintai kiai-kiai kampung seperti Abah, maka Abah Cipulus tidak pernah mati. Beliau hadir di hati, dalam akhlak, dalam napas umat.
Al-Fatihah.