Oleh: Solahudin, Mahasiswa STAI Al Badar Cipulus
Perkembangan teknologi telah melahirkan ruang-ruang diskusi digital yang dimanfaatkan mahasiswa untuk saling bertukar pikiran dan membangun dialektika. Sayangnya, tidak semua mampu menjaga etika dalam ruang tersebut, bahkan di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi teladan.
Beberapa waktu lalu, saya mengalami sendiri tindakan yang menurut saya termasuk bentuk cyberbullying dari seorang dosen di kampus saya, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Badar Cipulus. Dalam sebuah grup WhatsApp Forum Diskusi Mahasiswa, dosen bernama Sansan Saefumillah menegur saya secara terbuka, menyebut nama saya, menyampaikan catatan kehadiran akademik saya, dan memerintahkan saya “segera menghadap ke kampus”—semua dilakukan di ruang publik digital yang tidak berkaitan langsung dengan urusan akademik formal.
Teguran itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga membuat saya merasa dipermalukan di depan rekan-rekan mahasiswa lainnya. Grup tersebut bukanlah media resmi kampus, melainkan forum bebas mahasiswa yang saat itu sedang membahas isu sosial dan peran mahasiswa dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada kaitannya dengan absensi atau pelanggaran akademik.
Saya tidak menyangkal bahwa saya memiliki kekurangan dalam hal kehadiran perkuliahan, dan saya tidak lari dari tanggung jawab. Namun, apakah layak seorang dosen menyampaikan teguran dengan cara yang begitu terbuka dan bernada mengintimidasi? Di manakah letak profesionalisme dan etika akademik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh pendidik?
Apa yang dilakukan oleh Bapak Sansan Saefumillah menurut saya melanggar prinsip dasar etika pendidikan: menjaga martabat peserta didik dan memberikan pembinaan secara manusiawi. Bila dosen mempermalukan mahasiswa di ruang publik digital, bagaimana mahasiswa bisa tumbuh dengan sehat secara mental dan intelektual?
Ini bukan semata soal pribadi. Ini soal bagaimana kampus, sebagai lembaga pendidikan, harus mulai serius menyusun pedoman etika komunikasi digital—baik untuk dosen maupun mahasiswa. STAI Al Badar Cipulus harus mengevaluasi cara-cara penyampaian informasi internal agar tidak berubah menjadi ajang tekanan psikologis di ruang terbuka.
Saya menulis ini bukan untuk menyerang, tapi sebagai bentuk refleksi agar kita semua—baik mahasiswa maupun dosen—bisa tumbuh dalam kultur akademik yang sehat, saling menghargai, dan bebas dari praktik perundungan terselubung, termasuk dalam bentuk digital.