Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima, memiliki kedudukan agung dalam syariat Islam, dan menjadi simbol persatuan umat serta bentuk ketaatan total kepada Allah. Dalam pandangan para ulama, khususnya ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) seperti yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU), haji tidak hanya ibadah ritual semata, tapi juga ibadah yang sangat kompleks dari sisi hukum, syarat, dan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat).
Hukum Ibadah Haji sebagai Fardhu ‘Ain
Para ulama NU yang merujuk pada kitab-kitab mu’tabar seperti Fath al-Qarib, Tuhfatul Muhtaj, dan al-Majmu’ karya Imam Nawawi, sepakat bahwa haji hukumnya fardhu ‘ain bagi muslim yang memenuhi syarat. Dalil ini diambil dari Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97:
“وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا”
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Dalam Fath al-Qarib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi (syarah dari Taqrib Imam Abu Syuja’), dijelaskan:
“Haji dan umrah wajib sekali seumur hidup bagi setiap muslim, baligh, berakal, merdeka, dan mampu.”
Ulama NU juga merujuk pada ijma’ ulama yang menyatakan bahwa haji wajib dilakukan satu kali seumur hidup. Tambahan pelaksanaan haji setelahnya dihukumi sunnah.
Syarat Sah dan Wajibnya Haji
Dalam literatur fiqih Syafi’iyah—madzhab imam Syafii—syarat wajib haji ada enam:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Merdeka
5. Istitha’ah (kemampuan secara fisik, finansial, dan keamanan)
6. Bagi wanita: ada mahram atau rombongan amanah
Dalam Tuhfah al-Muhtaj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami disebutkan:
“Tidak wajib atas wanita yang tidak memiliki mahram atau suami untuk menemaninya dalam perjalanan haji yang jauh, kecuali jika ia dalam rombongan aman yang bisa menjaganya dari fitnah.”
Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Ibadah Haji
Dalam kaidah ushul fiqh, hukum terbagi menjadi lima, dan ini dapat dikaitkan dengan haji dalam kondisi berbeda:
Fardhu/Wajib: Haji menjadi wajib bagi orang yang memenuhi syarat-syaratnya.
Fardhu ‘Ain: Sebagaimana telah dijelaskan, haji adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang mampu.
Sunnah: Haji setelah yang pertama dihukumi sunnah.
Haram: Jika melaksanakan haji dengan cara haram, seperti mencuri atau menipu untuk membiayai haji. Dalam hal ini, hajinya sah tapi pelakunya berdosa. (lihat al-Majmu’ Syarah Muhadzab).
Makruh: Misalnya, melakukan safar haji di musim yang sangat rawan atau berperilaku tidak pantas saat berihram.
Mubah: Jika tidak ada keutamaan tertentu, dan dilakukan hanya sebagai pelengkap perjalanan.
Ibadah Haji dalam Perspektif Rukun Islam dan NU
Dalam hadis sahih yang sangat masyhur, Nabi SAW bersabda:
“Bunyikan Islam itu di atas lima perkara: syahadat, salat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama NU menegaskan bahwa haji adalah bentuk totalitas penghambaan kepada Allah. Dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, haji adalah “madrasah takwa”, tempat seseorang dididik untuk melepas ego, membuang sifat duniawi, dan menyatu dalam ukhuwah islamiyah global.
KH. Sahal Mahfudz dalam beberapa pengajian kitab al-Maqashid menekankan pentingnya haji bukan hanya sebagai rutinitas tahunan, tapi sebagai transformasi spiritual dan sosial. Dalam al-Maqashid, disebutkan:
“Sesungguhnya haji yang mabrur adalah yang tidak dicemari riya, sum’ah, dan niat selain Allah.”
Ibadah haji adalah ibadah yang mengandung dimensi syar’i, akhlaki, dan sosial yang dalam. Dalam tradisi NU dan pesantren, haji tidak hanya dipelajari dari sisi fiqih, tapi juga dari aspek tasawuf dan maqashid. Sebagai fardhu ‘ain, haji wajib ditunaikan sekali seumur hidup oleh yang mampu, dan menunda tanpa uzur adalah dosa. Oleh karena itu, memahami dasar-dasar hukumnya melalui kitab-kitab para ulama adalah langkah penting agar ibadah ini dilakukan dengan sah, benar, dan penuh makna.
Artikel ini dikutip dari beberapa sumber