Ibadah haji adalah salah satu dari lima rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu, baik secara fisik, finansial, maupun keamanan dalam perjalanannya. Namun, di balik kewajiban ini, tersimpan makna yang sangat dalam, baik secara spiritual maupun sosial. Seperti yang diulas dalam berbagai artikel di NU Online, haji bukan sekadar ibadah fisik, melainkan transformasi jiwa dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut NU Online dalam artikel “Haji Bukan Sekadar Ritual Fisik” (2020), perjalanan haji merupakan momentum bagi umat Islam untuk melakukan refleksi diri secara mendalam. Selama menjalani ibadah di tanah suci, seorang Muslim meninggalkan kehidupan duniawinya—pekerjaan, keluarga, dan status sosial—untuk semata-mata menghadap kepada Allah SWT. Dalam kondisi ini, mereka belajar menanggalkan ego dan memperbaiki kualitas keimanan.
Dimensi spiritual ini juga ditegaskan oleh KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), seorang ulama terkemuka Nahdlatul Ulama. Dalam ceramahnya yang dikutip oleh NU Online dalam artikel “Gus Baha: Ibadah Haji Mengajarkan Kesetaraan dan Keikhlasan” (2022), beliau menjelaskan bahwa haji adalah ibadah yang mengajarkan kesetaraan. “Ketika semua jamaah mengenakan pakaian ihram, tanpa membedakan kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa, semua berada dalam posisi yang sama di hadapan Allah SWT,” ujar Gus Baha. Ini merupakan simbol bahwa tidak ada keistimewaan manusia di sisi Allah kecuali karena ketakwaannya.
Lebih dari itu, haji juga menjadi media untuk membangun kesadaran sosial. NU Online dalam artikelnya yang berjudul “Haji dan Solidaritas Umat Islam” (2019) menjelaskan bahwa pelaksanaan haji mempertemukan umat Islam dari seluruh dunia. Mereka berasal dari berbagai bangsa, suku, bahasa, dan budaya. Pertemuan ini menciptakan ikatan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) yang tidak mengenal batas geografis. Dengan demikian, haji bukan hanya ibadah individual, melainkan juga ibadah sosial yang memperkuat solidaritas global umat Islam.
Salah satu aspek penting dari ibadah haji yang kerap diingatkan oleh para ulama Nahdlatul Ulama adalah pentingnya menjaga niat. Dalam artikel “Menjaga Niat dalam Ibadah Haji” (2021), NU Online mengutip pendapat para kiai pesantren yang menekankan bahwa niat yang ikhlas adalah kunci diterimanya ibadah. Banyak orang berangkat haji karena alasan sosial atau ingin mendapat gelar “Haji”, padahal seharusnya niat utama adalah semata-mata mencari ridha Allah SWT.
Lebih jauh, setelah kembali dari haji, seorang Muslim diharapkan mengalami perubahan dalam perilaku dan kehidupan sehari-harinya. Gelar “haji” bukan hanya simbol status, melainkan juga tanggung jawab moral untuk menjadi teladan di masyarakat. Dalam ajaran Nahdlatul Ulama, keberhasilan haji tidak diukur dari banyaknya oleh-oleh atau cerita perjalanan, tetapi dari sejauh mana perubahan akhlak dan kedekatan spiritual yang terbentuk setelahnya.
Dalam konteks kekinian, ibadah haji juga memiliki tantangan tersendiri. Kuota yang terbatas, biaya yang tinggi, serta tantangan logistik menjadikan haji sebagai ibadah yang memerlukan kesabaran luar biasa. Namun, seperti yang dikutip NU Online dari tokoh-tokoh ulama, kesabaran dan keikhlasan dalam menunaikan haji justru akan menjadi nilai tambah yang memperkaya pengalaman spiritual tersebut.
Secara keseluruhan, haji adalah ibadah yang menyempurnakan perjalanan seorang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya—keikhlasan, kesetaraan, solidaritas, dan kesabaran—adalah bekal penting untuk membangun kehidupan pribadi dan sosial yang lebih bermakna.
