Oleh: Supendi Samian
Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter, wawasan, dan kemajuan suatu bangsa. Di tengah keterbatasan akses dan ketidakadilan kolonial dalam sistem pendidikan sebelum kemerdekaan, hadirnya lembaga-lembaga pendidikan swasta — terutama yang berbasis keagamaan, kultural, dan kebangsaan — menjadi cahaya harapan bagi rakyat Indonesia.
Lembaga pendidikan swasta telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, berdiri atas dasar keprihatinan, semangat kemandirian, dan panggilan moral dari para tokoh bangsa dan ulama. Mereka mendirikan sekolah bukan untuk mencari keuntungan, melainkan sebagai bentuk perjuangan dan pengabdian kepada bangsa dan agama.
1. Lahirnya Pendidikan Swasta Sebelum Kemerdekaan
Beberapa contoh nyata:
- Taman Siswa (1922) didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, bertujuan mendidik kaum pribumi agar mampu berpikir merdeka dan mencintai bangsanya.
- Muhammadiyah (1912) mendirikan berbagai sekolah modern berbasis Islam untuk mencerdaskan umat dan melawan kebodohan serta keterbelakangan.
- Pondok pesantren, sudah ada sejak abad ke-18 hingga ke-19, menjadi pusat pendidikan keislaman dan perjuangan. Contohnya, Pondok Pesantren Tebuireng (1899) oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang melahirkan banyak ulama dan pejuang bangsa.
- Lembaga Katolik dan Kristen, seperti Zending, turut membuka sekolah-sekolah swasta di berbagai daerah, terutama di Indonesia Timur.
Semua lembaga ini hadir tanpa subsidi negara, murni atas dasar keikhlasan dan tekad membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan.
2. Perjuangan Tulus dan Mandiri
Lembaga pendidikan swasta membiayai operasional sekolah melalui:
- Gotong royong masyarakat
- Donasi para tokoh
- Wakaf dan dana umat
- Dedikasi para guru dan pengelola tanpa pamrih
“Sekolah-sekolah swasta itu ibarat sumur di tengah padang tandus, menjadi sumber ilmu dan harapan saat negeri ini belum memiliki sistem pendidikan yang adil.”
3. Kontribusi Strategis dalam Kemerdekaan
Para lulusan lembaga pendidikan swasta menjadi tokoh nasional, pejuang kemerdekaan, dan pendidik yang menyebarkan semangat cinta tanah air. Di antaranya:
- Ki Hajar Dewantara
- KH. Ahmad Dahlan
- KH. Hasyim Asy’ari
- KH. Wahid Hasyim
- …dan ribuan tokoh lokal lainnya.
Mereka mencetak generasi yang tangguh, berpikir merdeka, dan mampu membela tanah air secara moral maupun fisik.
Indonesia Tanpa Sekolah Swasta: Ibarat Gurun yang Kosong
- Pendidikan hanya milik penjajah dan elite
- Rakyat tetap dalam kebodohan
- Tidak lahir generasi pejuang dan pemikir bangsa
- Kehampaan nilai moral dan spiritual
“Ibarat gurun yang kosong, tanpa air, tanpa pohon peneduh, tanpa kehidupan — begitulah Indonesia tanpa sekolah swasta.”
Pendidikan swasta telah menjadi tulang punggung dalam sejarah pendidikan Indonesia, terutama di masa-masa sulit saat negara belum hadir secara sistematis. Namun ironisnya, dalam era modern, muncul kebijakan-kebijakan yang justru melemahkan eksistensi dan peran strategis sekolah swasta. Salah satunya adalah sistem zonasi, yang sering kali memusatkan siswa ke sekolah negeri tanpa mempertimbangkan kapasitas dan keberadaan sekolah swasta.
Menurut Prof. Dr. Darmaningtyas, pakar kebijakan pendidikan dari INDEF dan Yayasan Taman Siswa:
“Sistem zonasi jika tidak dikaji secara kontekstual, bisa menjadi bentuk diskriminasi kebijakan terhadap pendidikan swasta. Negara semestinya adil, tidak boleh membiarkan sekolah negeri tumbuh dengan menenggelamkan sekolah swasta.”
Banyak sekolah negeri menerima siswa sebanyak-banyaknya, bahkan melampaui kapasitas, demi memenuhi kuota zonasi. Akibatnya, sekolah swasta — terutama yang kecil dan telah melayani daerah terpencil — kehilangan peserta didik dan mengalami penurunan kualitas serta ancaman keberlangsungan.
Dr. Doni Koesoema, M.Ed., tokoh pendidikan karakter Indonesia, menambahkan:
“Sekolah swasta harus dilihat sebagai mitra negara, bukan pesaing. Mereka punya sejarah panjang melayani bangsa, dan sudah sepatutnya mendapat dukungan anggaran dan kebijakan afirmatif, bukan justru dimatikan secara perlahan oleh kebijakan sektoral.”
Kenyataannya, di banyak wilayah pedesaan dan pelosok, sekolah negeri belum hadir secara merata. Justru sekolah-sekolah swastalah — baik berbasis agama, pesantren, maupun lokal — yang menjadi garda terdepan pendidikan rakyat.
Menuju Indonesia Emas 2045: Penguatan Sekolah Swasta sebagai Prioritas
1. Realisasi Anggaran Afirmasi untuk Sekolah Swasta
Negara wajib membiayai dan mendukung semua bentuk pendidikan tanpa diskriminasi sesuai amanat Pasal 31 UUD 1945. Skema anggaran BOS dan BOP harus ditingkatkan dan dipermudah bagi sekolah swasta, terutama yang berada di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
2. Revisi Implementasi Sistem Zonasi
Sistem zonasi harus menjamin keadilan akses, bukan sentralisasi siswa. Zonasi harus mempertimbangkan keberadaan sekolah swasta dan memberi pilihan kepada masyarakat.
3. Kolaborasi Bukan Kompetisi
Sekolah negeri dan swasta harus didorong untuk berkolaborasi dalam peningkatan mutu. Negara perlu menjadikan sekolah swasta sebagai partner resmi dalam penyusunan kebijakan pendidikan.
4. Pemetaan Pendidikan Berdasarkan Wilayah
Di banyak desa luar Jawa, sekolah negeri sangat minim. Pembangunan pendidikan harus berbasis data spasial dan sosial, bukan hanya kuota dan zonasi.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendidik dan lembaga pendidikan yang telah berjuang sebelum negara berdiri. Sekolah swasta bukan hanya berperan di masa lalu, tetapi juga sangat relevan untuk masa depan.
Sebagaimana disampaikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur):
“Membangun peradaban bangsa itu tidak cukup hanya dengan negara, tapi dengan masyarakat yang sadar, termasuk melalui pendidikan swasta.”
Menuju Indonesia Emas 2045, tidak boleh ada dikotomi antara negeri dan swasta. Yang ada adalah kebersamaan membangun peradaban dan kemanusiaan.
Pendidikan swasta di Indonesia bukan sekadar pelengkap sistem nasional. Ia adalah pilar awal dan utama dalam membentuk kesadaran kebangsaan, membangun kemandirian intelektual, serta menanamkan nilai keimanan, kebangsaan, dan perjuangan.
Sejarah mencatat bahwa sebelum bangsa ini merdeka secara politik, masyarakat Indonesia telah lebih dahulu merdeka secara pikiran dan akhlak melalui pendidikan swasta.
Sekolah-sekolah seperti Taman Siswa (1922) oleh Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah (sejak 1912) oleh KH. Ahmad Dahlan, dan Pesantren Tebuireng (1899) oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah contoh konkret bagaimana pendidikan swasta mendidik anak bangsa untuk menjadi manusia merdeka dan bertanggung jawab.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar menyebut:
“Pendidikan swasta memainkan peran strategis dalam pluralitas sistem pendidikan Indonesia. Ia fleksibel, adaptif, dan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.”
Dr. Bambang Soegeng, M.Ed., menegaskan:
“Kelembagaan pendidikan swasta adalah bukti nyata bagaimana masyarakat sipil mampu mengorganisasi pendidikan secara mandiri, jauh sebelum negara hadir secara sistematis.”
Prof. Dr. Anies Baswedan, mantan Mendikbud RI, juga mengatakan:
“Pendidikan swasta adalah bagian tak terpisahkan dari narasi besar kemerdekaan. Mereka mendidik bahkan ketika negara belum ada; mereka mencerdaskan bahkan tanpa anggaran dari negara.”
Tanpa pendidikan swasta, perjalanan bangsa akan mengalami kekosongan ideologis dan keterlambatan dalam mencetak generasi berkarakter. Pendidikan swasta tidak sekadar memberi alternatif, tetapi menghadirkan corak, jiwa, dan arah yang khas.
Negara wajib memberikan pengakuan, dukungan, dan perlindungan adil terhadap pendidikan swasta sebagai mitra strategis mencerdaskan kehidupan bangsa.
Indonesia tanpa pendidikan swasta ibarat gurun yang kosong — gersang dari nilai, sepi dari keberagaman, dan hampa dari semangat perjuangan.
Menguatkan pendidikan swasta berarti merawat akar sejarah dan menyuburkan masa depan bangsa.
Penulis adalah Ketua STIDKI NU Indramayu
Sumber: NU Online Jabar
KOIN NU PURWAKARTA
Scan QR Code di bawah atau klik tombol "Donasi Sekarang" untuk memberikan Koin NU via DANA.

Donasi Sekarang
Terima kasih atas dukungan Anda!
Disclaimer: Koin NU ini dikelola oleh PCNU Purwakarta.