Dalam dunia Islam, diskursus mengenai hubungan antara agama dan negara selalu menjadi topik yang menarik dan relevan, terutama di tengah dinamika kehidupan berbangsa yang semakin kompleks.
KH Afifuddin Muhajir, seorang ulama terkemuka dan pakar fiqih siyasah, dalam salah satu video singkat yang diupload di NU Online, menyampaikan pandangan penting mengenai posisi agama dalam sistem kenegaraan menurut literatur Islam.
KH Afifuddin menjelaskan bahwa dalam fiqih siyasah—cabang ilmu fiqih yang mengkaji persoalan politik dan pemerintahan—agama dan negara tidak bisa dipisahkan secara total.
Menurutnya, negara adalah instrumen penting untuk menegakkan nilai-nilai agama. Sebaliknya, agama memberikan fondasi moral dan etika yang menjadi dasar dalam menjalankan pemerintahan yang adil.
Pandangan ini bukan hal baru dalam tradisi keilmuan Islam. Banyak ulama klasik maupun kontemporer yang menekankan pentingnya kehadiran negara dalam mendukung terlaksananya syariat secara menyeluruh.
Negara bertugas melindungi hak rakyat, menegakkan keadilan, dan memastikan kesejahteraan umum—semuanya adalah bagian dari tujuan syariat Islam (maqashid al-syari’ah).
Di tengah masyarakat yang plural seperti Indonesia, pemahaman fiqih siyasah yang moderat dan kontekstual seperti yang disampaikan KH Afifuddin sangat dibutuhkan.
Gagasan ini membuka ruang untuk menghadirkan nilai-nilai Islam dalam ruang publik tanpa memaksakan formalisasi agama secara kaku, serta tetap menghargai prinsip demokrasi dan keberagaman.
Dengan demikian, relasi agama dan negara dalam pandangan fiqih siyasah bukanlah relasi yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Agama memberi arah, negara menjalankan fungsi teknis. Keduanya harus berjalan berdampingan demi menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.