Oleh: KH. Anhar Haryadi (Pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Wanayasa-Purwakarta)
nupurwakarta.or.id – Thariqah adalah jalan menuju Allah Swt. Thariqah merupakan buah dari syariat, oleh karena itu thariqah tidak bisa lepas dari syariat. Semua thariqah yang mu’tabarah ada gurunya masing-masing dan mempunyai sumber yang sama, yaitu Baginda Nabi saw, melalui jalur beberapa Sahabat, diantaranya Sayyidina Abubakar ash-Shiddiq Sayyidina Umar bin Khaththab ra, Sayyidina Ali bin Abi Thalib Sayyidina Anas ra, Sayyidina Salman al-Farisi ra. Karena itu, tidak mungkin thariqah yang mu’tabarah itu sesat atau lepas dari Ajaran Islam.
Baca Juga : Agar Dicintai Allah
Tapi, untuk meringankan beban umatnya, Baginda Rasulullah saw mengajarkan bermacam-macam cara berdzikir kepada para Sahabat sesuai dengan kemampuan mereka. Misalkan, ada yang mampu berdzikir dalam hitungan puluhan, maka disediakanlah pintunya. Sedangkan bagi yang mampu hingga hitungan ribuan, juga disediakan pintunya, Tapi. semua dzikir itu berdasarkan ayat ala bidzikrillahi tatmainul qulub’ (berdzikir itu akan menenangkan hati) inilah firman Allah swt yang memerintahkan kita untuk memperbanyak dzikir. Sementara inti dari dzikir-dzikir tersebut sama, yaitu supaya umat Islam tidak lalai kepada Allah swt.
Sekarang ini ada bermacam-macam thariqah dan semuanya mempunyai peraturan yang berasal dari Baginda Nabi saw sendiri. Inti dari semua thariqah tersebut adalah dzikir La ilaha illallah Muhammad rasulullah dan dzikir sirrnya, yaitu Allah, Allah, Allah atau Hu, Hu, Hu, (Dia, Dia, Dia), serta dzikir lain yang terkait dengan mentauhidkan Allah swt). Dzikir dalam thariqah tersebut bukan sekadar bacaan untuk mencari pahala, tetapi meraih buahnya, yaitu selalu mengingat Allah swt. Buah ini akan mewarnai kehidupan individu atau pribadi yang menjalankan thariqah tersebut.
Diumpamakan, tapi perumpamaan ini bukan berarti membandingkan kalimah La ilaha illallah dengan dunia, melainkan untuk mempermudah kita dalam memahami. Seseorang yang mempunyai cincin yang dihiasi batu permata yang tiada ternilai harganya, maka cincin itu akan dijaganya baik-baik. Ketika hendak makan saja, cincin itu disimpannya dikantung khusus agar tidak kotor atau terjatuh. Nah itu baru batu. Lalu bagaimana dengan kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, yang nilainya tidak bisa kita takar sendiri cincin bertatahkan batu permata tersebut?
Baca Juga : Pentingnya Silaturahmi dalam Menjaga Harmoni Sosial dan Spiritualitas
Kalimah tahlil ini mesti mengiringi dan mewarnai kita saat kita makan. Maksudnya, nasi yang kita makan sekadar sebagai sarana mencari kenyang, sementara yang memberikan rasa kenyang hanyalah Allah swt. Jadi, kita akan selalu ingat bahwa tiada Dzat yang wajib disembah kecuali Allah swt dan kita juga akan selalu ingat akan perintah dan larangan-Nya. Kita akan merasa didengarkan dilihat oleh Allah swt. Apabila sudah demikian, mungkinkah kita akan banyak me lakukan hal tidak disukai Allah swt dan Rasul-Nya?
Tentu saja tidak. Ketika kita menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya pun kita kembalikan kepada Allah swt. Sehingga muncullah keikhlasan dalam setiap perilaku kita. Nah, inilah pengertian thariqah. Jadi, bukan hanya untuk mencari pahala atau pendekatan diri kepada Allah swt di waktu mengamalkan. Akan tetapi, mampukah kita membawa buah dari kalimat tahlil ini dalam kehidupan kita sehari-hari.
Keistimewaan kalimat tahlil dalam setiap thariqah itu berbeda beda. Seperti keistimewaan tumbuh-tumbuhan yang diciptakan Allah swt Misalnya daun kumis kucing berkhasiat bagi orang yang kena penyakit kencing batu. Ada juga daun delima atau keci beling dan sebagainya. Tumbuhan itu diberi kelebihan masing-masing oleh Allah swt.
Baca Juga : Hati: Pemimpin Tubuh yang Menentukan Kebaikan dan Keburukan Manusia